30/01/19

Cerita dari sang saksi bisu di Jakarta Humanity Festival 2019



Selalu saja ada cerita dari barang-barang yang tertinggal di lokasi bencana. Cerita tentang dahsyatnya kedatangan bencana yang mungkin saja tidak sempat diungkapkan oleh sang pemiliknya. Memang benar, benda tertinggal itu tidak bisa secara langsung menceritakan kejadian yang menimpanya, tapi sebagai makhluk yang dikaruniai daya pikir, seharusnya bukan hal yang sulit untuk kita menangkap cerita tersebut.

Jika sudah ‘mendengar’ cerita dari sang saksi bisu itu, selanjutnya pilihan jelas ada ditangan kita sendiri, apakah mau membangkitkan sisi humanitas yang kita miliki, atau mau bersikap acuh tak acuh seolah tidak terjadi apa-apa. Rasanya pilihan kedua ini sedikit mustahil diambil oleh manusia yang secara alami memang diberkahi perasaan dan naluri saling menyayangi satu sama lain, kalaupun ada ya mungkin saja informasi soal ini memang belum sampai padanya.

Yup seperti kita ketahui bersama, zamrud khatulistiwa yang saat ini kita tinggali merupakan surga dunia yang berada persis di daerah ring of fire (cincin api). Di satu sisi kita harus banyak bersyukur karena posisi Indonesia yang berada di garis khatulistiwa membuat negara ini begitu nyaman untuk ditinggali sampai-sampai mendapat julukan sebagai ‘surga dunia’ namun disisi lain, karena berada dalam rangkaian ring of fire atau cincin api dunia kita pun akan selalu ‘berkejaran’ dengan yang namanya bencana alam.



Sayangnya seringkali kita seolah terlena dengan kata ‘surga’ nya saja, masyarakat Indonesia termasuk aku sendiri kurang paham seluk beluk yang berkaitan dengan si bencana alam tersebut, jadi kita kurang memiliki persiapan untuk ‘menyambut’ sang bencana yang bisa saja sewaktu-waktu datang itu.

Oleh karena itu, untuk membangkitkan sisi humanitas serta kesadaran tanggap bencana yang semestinya kita miliki, Dompet Dhuafa sebagai lembaga nirlaba milik masyarakat yang bergerak dibidang kemanusiaan pun mengadakan sebuah event bertajuk Jakarta Humanity Festival 2019. Jakarta Humanity Festival ini sendiri merupakan gerakan semangat untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya merespon isu kemanusiaan di lingkungan sekitar yang terjadi akhir-akhir ini dengan kebaikan.

Aku jelas tidak mau ketinggalan dalam keseruan Jakarta Humanity Festival yang secara khusus dikemas dengan pendekatan pada generasi milenial itu. Lokasi acara yang cukup jauh dari tempat tinggal pun sama sekali tak menyurutkan langkahku. Dalam bayanganku, karena ditujukan untuk generasi milenial, pasti acaranya akan seru banget, dan memang bayanganku tersebut benar-benar terbukti.

barang-barang yang tertinggal di lokasi bencana


Hal pertama yang menarik perhatianku saat memasuki area Jakarta Humanity Festival 2019 adalah area pameran foto hasil jepretan para fotografer Dompet Dhuafa saat melakukan aksi tanggap darurat di wilayah bencana. Tak perlu suara untuk dapat memahami cerita dari setiap foto yang dipamerkan. Cerita-cerita tentang kedahsyatan bencana alam yang terjadi itu hadir begitu saja dalam benakku saat melihat jejeran foto-foto tersebut.

Tak hanya foto saja yang dapat bercerita, tapi juga beberapa benda-benda sang saksi bisu yang sengaja ‘dipinjam’ sebentar oleh tim Dompet Dhuafa untuk mempermudah para generasi milenial ‘mendengar’ cerita dari lokasi bencana alam. Mustahil rasanya untuk tidak tersentuh bila melihat semua ini.

‘Kira-kira apa yang bisa kita lakukan setelah menyaksikan semua ini’, agaknya pemikiran inilah yang singgah di benak para pengunjung, termasuk aku dan para teman blogger lain. Seolah paham dengan apa yang ada dibenak para pengunjung, panitia pun telah menyiapkan beberapa workshop serta talkshow yang bisa langsung diterapkan sebagai langkah awal untuk membangkitkan sisi humanitas kita. Salah satunya melalui workshop pengolahan limbah sampah oleh kak ratry.



Meski bertajuk ‘pengolahan limbah sampah’ tapi ternyata workshop yang disajikan ini tuh jauh dari kata ‘kotor’ yang biasanya amat dekat dengan sampah. Kak ratry mengajak kami, para peserta workshop untuk berpikir simpel saja dan memulai langkah dari hal yang juga simpel. Seperti memanfaatkan kembali gelas-gelas kopi bekas misalnya.

Yup, cup kopi yang biasanya kita buang itu pun ternyata bisa dimanfaatkan kembali sebagai barang fungsional yang cantik. Kak ratry mengajak para peserta workshop ber-doodle ria di gelas kopi yang telah ia bagikan. “bebas aja, terserah mau gambar apa”, begitu katanya. Selanjutnya dapat ditebak, para peserta pun larut dalam doodlenya masing-masing.



Satu hal yang aku tangkap dari workshop kak ratry ini adalah kita tak harus melakukan sesuatu hal yang besar untuk membuat sebuah perubahan besar, mulai saja dari yang terkecil. Yaahhh... meski kita tinggal di wilayah Ring of Fire dan senantiasa ‘berkejaran’ dengan bencana, tapi jangan lantas membuat kita berpasrah diri, lakukan perubahan mulai dari diri sendiri saja.

0 comments:

Posting Komentar