29/05/18

"Merokok membunuhmu" saja ternyata tidak cukup...

Saat seorang laki-laki dewasa mengucapkan ijab kabul di depan penghulu, maka itu tidak hanya berarti ia telah menikahi wanitanya saja, tapi jauh lebih besar dari itu. Aku katakan demikian karena pada saat yang bersamaan itu pula tanggung jawab yang tadinya diemban oleh orangtua si wanita akan langsung beralih padanya.

Sama seperti yang pernah aku ungkapkan ditulisanku sebelumnya soal raga seorang istri yang bukan lagi miliknya seorang, tentu tak salah kalau aku katakan juga, raga serta jiwa laki-laki yang telah menikah itu tidak lagi miliknya seorang, karena ada kewajiban yang harus ia tunaikan pada wanita yang telah ia nikahi tadi. Termasuk untuk urusan menjaga kesehatannya sendiri.

Sayangnya dalam menjaga kesehatan tersebut, banyak lelaki dewasa yang mengabaikannya dengan terus merokok, meski tak kupungkiri juga kalau ada wanita yang ikut-ikutan merokok. Padahal mereka sendiri paham betul akan bahaya rokok terhadap kesehatan diri dan orang sekitarnya.



Jujur aku sendiri sedikit gagal paham soal ini, disatu sisi mereka bilang tau kalau rokok itu bisa membunuhnya melalui berbagai jenis penyakit, namun disisi lain mereka terus saja melakukannya demi kata ‘kenikmatan’ tanpa menghiraukan akibat yang mungkin saja bisa dirasakan oleh diri sendiri maupun orang sekitarnya, bahkan mungkin dapat juga dirasakan oleh orang-orang yang ’katanya’ mereka cintai itu.

Aku sempat berpikir, apa menurut mereka istri maupun anak yang mereka cintai itu hanya seharga rokok yang ia agung-agungkan tersebut...? Mungkinkah ia akan lebih memilih Rokok dibanding keluarganya jika disuruh memilih...? namun hingga saat ini pertanyaan tersebut tidak pernah terjawab. Entah karena memang tidak ada jawabannya atau karena aku sendiri yang takut mendengar jawabannya tersebut.

Pembahasan soal Rokok ini cukup menarik perhatianku sebagai seorang istri, inilah yang kemudian membuatku begitu antusias ketika mendapat undangan dalam diskusi publik yang membahas soal “Rokok dan Puasa, murahnya harga rokok” di Tjikini Lima Restaurant, Jakarta Pusat pada tanggal 28 Mei 2018 lalu.

dr. Adhi Wibowo Nurhidayat, SpKJ (K)


Dalam acara tersebut dr. Adhi Wibowo Nurhidayat, SpKJ (K) selaku psikiater RS Jiwa Soeharto Heerdjan yang didaulat sebagai narasumber pun mengungkapkan kalau Rokok merupakan Narkoba yang entah mengapa di legalkan. Berdasarkan kapasitasnya sebagai dokter jiwa, ia dengan yakin mengatakan hal tersebut karena menurut penelitian Kandungan zat adiksi dalam rokok merupakan yang ketiga setelah Shabu dan putaw.

Selain kandungan zat adiksi nya yang memang sangat kuat tersebut, para pecandu rokok sulit berhenti merokok karena adanya efek efek tertentu yang didapat saat mereka merokok, seperti stimulan, anti stress, euforia dan lain sebagainya. Oleh karena itu dibutuhkan tekad serta keinginan yang kuat untuk menghentikan ketergantungan terhadap rokok tersebut.

Namun tidak ada suatu hal yang mustahil dilakukan jika kita mempunyai niat, terbukti betapa pun sulitnya berhenti merokok, para perokok ini dapat berhenti merokok selama menjalankan ibadah puasa, setidaknya di siang hari pada bulan puasa. Ini seolah menjadi titik terang bagi kita semua dalam mengurangi angka pecandu rokok di Indonesia.



Sayangnya, ‘berhenti merokok di siang hari’ ini tidak berlanjut setelah bulan puasa berakhir, padahal jika ada sedikit usaha lagi untuk menguatkan tekad, maka bukan tidak mungkin kalau setelah bulan puasa berakhir nanti angka pecandu rokok benar-benar bisa berkurang. Berbekal dari hal tersebut jelas dibutuhkan tindakan nyata dari berbagai kalangan untuk mendukung hal ini, seperti dengan menaikan harga rokok dan menetapkan fatwa haram misalnya.

Kedua hal ini aku anggap sebagai kebijakan yang cukup efektif dalam menurunkan angka pecandu rokok di tanah air. Jujur aku agak risih melihat harga rokok yang menurutku terlalu murah sehingga amat menarik perhatian meski iklan rokok itu sendiri sudah ‘disamarkan’. Dan pendapat ku ini dibenarkan juga oleh Dr. Abdillah Ahsan, SE, M. Si selaku wakil kepala pusat ekonomi dan bisnis syariah Universitas Indonesia yang juga didaulat sebagai narasumber dalam diskusi publik kemarin.

Menurut beliau, harga rokok yang masih dikisaran Rp 15.000,- per bungkus itu amat terjangkau bahkan untuk kalangan pelajar yang masih mengandalkan uang saku dari orangtuanya. Tak hanya itu saja, terbukti berdasarkan data yang ada 32% orang miskin di Indonesia atau sekitar 8,58 juta orang mampu membeli rokok untuk dijadikan pengeluaran kedua terbesar dalam anggaran belanja rumah tangga nya setelah beras.

Fuad Baradja, sang terapis berhenti merokok


Berangkat dari data tersebut, pikiranku pun semakin terbuka, jika harga rokok dinaikkan hingga angka yang tidak bisa dicapai oleh 32% orang miskin perokok yang tadi aku sebutkan tersebut, maka insya Allah akan otomatis juga menurunkan angka pecandu rokok di Indonesia hingga 32% pastinya.

Dan jika dana yang tadinya dibelikan rokok oleh 32% orang Indonesia tadi itu dialokasikan untuk kebutuhan lain yang lebih barokah, maka akan sama artinya dengan kebangkitan perekonomian Indonesia. Woooww... membayangkannya saja sudah membuatku terharu...

Itu baru dari segi perekonomian saja, Selain menaikkan harga rokok, dalam diskusi publik kemarin itu juga dibahas soal penetapan fatwa haram untuk rokok. Tak tanggung-tanggung untuk mengulas hal ini diundang pula Dr. Anwar Abbas selaku pengurus pusat muhammadiyah sebagai salah satu nara sumber.



Menurut beliau, secara bahan baku, rokok memang tidak haram seperti Babi atau darah, namun jika melihat dari konteks kandungan serta efek atau akibat yang ditimbulkan, maka Muhammadiyah yang diwakili oleh Dr. Anwar Abbas tersebut dengan tegas mengatakan kalau rokok itu Haram hukumnya.

Merokok jelas bertentangan dengan dalil-dalil dalam Islam, seperti mengharamkan segala yang buruk, larangan menjatuhkan diri pada kebiasaan dan perbuatan bunuh diri, larangan berbuat mubazir, dan larangan menimbulkan mudharat atau bahaya pada diri sendiri dan orang lain. Itulah kenapa PP Muhammadiyah mengeluarkan fatwa haram pada rokok.

Aku sih berharap nantinya fatwa haram juga bisa dikeluarkan oleh lembaga Islam tertinggi di Indonesia, MUI, agar penerapannya di masyarakat bisa lebih efektif.

Terapi berhenti merokok ala fuad baradja


Nah, sebagai wanita yang juga seorang istri aku mewakili para istri di Indonesia untuk dapat mengatakan pada kalian wahai para suami tercinta, “Kami ingin kalian berhenti merokok semata-mata karena berharap dapat hidup bahagia bersama lebih lama dengan kalian...”
( Dalam hati : “dan supaya uang belanja kami tidak dipotong dengan uang rokok...”)


0 comments:

Posting Komentar