Dulu kalau ditanya soal pembagian bulan antara musim hujan dan musim kemarau di Indonesia, dengan mudahnya kita bisa menjawab. Patokannya tak lain adalah karena musim hujan selalu diawali dengan bulan yang ada “ber” di belakangnya.Tinggal dihitung aja 6 bulan di mulai dari Oktober, itu artinya sudah masuk musim hujan dan sisa nya musim kemarau deh. Ada yang menggunakan clue ini juga kah?
Sayangnya beberapa tahun ini semua sudah mulai berubah. Bulan berakhiran “ber-ber” itu sudah tidak lagi merupakan pertanda musim hujan di negara khatulistiwa kita ini. Bahkan menurutku yang lumayan ekstrim adalah ketika di bulan agustus lalu, Indonesia, tepatnya di Bekasi tempat tinggal ku malah diguyur hujan terus menerus, padahal biasanya Agustus menjadi puncak musim kemarau.
Bagi masyarakat Bekasi yang terbiasa panas, ini jelas sedikit menyenangkan, kapan lagi kan bisa merasakan hawa dingin Bekasi di bulan agustus. Tapi, bagi ku dan pastinya banyak pecinta lingkungan lain, situasi ini justru menjadi peringatan ada yang tidak beres pada ekosistem, dan lingkungan kita. Mau tidak mau harus diakui kalau ketidakpastian iklim yang terjadi sekarang adalah bukti nyata rusaknya alam di bumi ini. Sudah bukan waktunya kita berdiam diri lagi, harus ada tindakan nyata yang dilakukan bersama.
Untuk masyarakat perkotaan seperti kita, mungkin memang tidak bisa terjun langsung menjaga hutan agar ekosistem bumi juga dapat terjaga dengan baik. Namun sebenarnya ada beberapa cara tak langsung yang bisa kita lakukan kok, salah satu nya dengan memberikan dukungan penuh pada masyarakat adat yang ada di wilayah adat nya masing-masing. Alasannya karena hampir semua masyarakat adat yang ada di Indonesia itu tinggal dan aktif menjaga hutan di lingkungan nya. Penasaran ngga sih sama apa dan bagaimana cara masyarakat adat menjaga lingkungan serta tantangan-tantangan yang mereka hadapi? Baca tulisan ini sampai selesai yaa.
Masyarakat adat, si Pahlawan Lingkungan yang Terancam di Wilayah nya Sendiri
Sama seperti kita semua yang biasanya lebih memahami daerah tempat tinggal masing-masing, masyarakat adat pun bisa dibilang demikian. Mereka sudah turun temurun tinggal di wilayah adatnya masing-masing, jadi jangan heran kalau ilmu tentang menjaga lingkungan tersebut pun lebih mereka pahami dan juga terus diturunkan secara berkala pada keturunan nya. Bahkan mungkin ilmu mereka memahami wilayahnya itu jauh lebih baik dibanding ‘orang kota bergelar’ yang baru menginjakkan kaki di wilayah adat itu.
Sayangnya, kemampuan masyarakat adat dalam menjaga wilayah adatnya ini justru diragukan oleh negara. Masih banyak masyarakat adat yang merasa wilayahnya dikorbankan dengan dalih pemerataan pembangunan. Yup, lagi-lagi masyarakat adat menjadi korban. Situasi ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja tapi juga di berbagai belahan dunia lain. Jujur, aku pun agak kaget saat mendengar hal ini di salah satu webinar dalam rangkaian COP 30 beberapa waktu lalu.
Miris aja, kenapa sih negara harus merasa lemah dan sangat tidak percaya diri hingga harus membuat uu yang terus menjadi legitimasi untuk merampas wilayah adat. Di tengah berbagai masalah yang ada di Indonesia, masyarakat adat pun merasa kurang mendapat dukungan dari negara dan global.
Kebanyakan dari Dukungan global itu khususnya dari philanthropy dan donatur tersebut nyatanya hanya ada diatas kertas. Pendanaan dengan nominal yang cukup besar dan terus digembar-gemborkan itu kurang dirasakan dampaknya oleh masyarakat adat nya. Kebanyakan dari uang tersebut ada dan dikelola oleh lembaga-lembaga intermediate, jadi banyak yang tidak sampai ke tangan para masyarakat adat. Padahal dukungan itu amat diperlukan oleh masyarakat adat untuk bisa menjaga wilayah-wilayah adat yang nantinya akan membuat dunia ini selamat dari krisis global.
Oleh karena itu, AMAN akan terus membawa isu ini agar dapat dilihat oleh mata dunia, terutama di event COP 30. Tujuannya utamanya adalah agar masyarakat adat bisa terus terlindungi dengan maksimal saat menjaga wilayah adat nya masing-masing. Sedihnya lagi, belakangan ini masyarakat adat yang seharusnya dianggap pahlawan karena menjaga wilayah adatnya,justru dicap sebagai kriminal yang tidak patuh pada negara.
Masyarakat adat sebenernya sama sekali tidak menolak pembangunan, mereka ingin berkontribusi sepenuh penuhnya untuk pembangunan tetapi jangan sampai pembangunan tersebut berdiri di atas darah dan air mata para masyarakat adat, atau bahkan sampai berdiri di atas punahnya masyarakat adat di suatu wilayah. Sudah banyak contoh masyarakat adat yang akhirnya terpaksa punah karena tergerus oleh pembangunan yang semakin masif. Hutan dan alam dirusak dengan dalih pembangunan.
Masyarakat adat jelas memiliki berbagai pengetahuan turun temurun yang akan berguna untuk terus menjaga ekosistem dan lingkungan di wilayah nya. Kalau ekosistem dan lingkungan terjaga, maka dampak nya akan terasa secara global. gampangnya, dengan menjaga masyarakat adat maka sama artinya dengan menjaga bumi tercinta ini. Segitu berjasa nya peran masyarakat adat untuk kita semua, jadi jangan sampai kita lepas tangan begitu saja melihat para masyarakat adat berjuang sendirian. Kita semua adalah jawaban dari krisis global ini. Tanggung jawab menjaga bumi ini adalah tugas kita semua, bukan hanya masyarakat adat.
Mungkin kita memang belum bisa turun tangan langsung menjaga hutan seperti yang dilakukan oleh masyarakat adat, namun kita bisa kok terus mendukung mereka dengan tak lelah menyuarakan soal ini ke masyarakat luas baik di negara sendiri maupun secara global. Semoga suara kita bersama ini akan lebih didengar oleh para petinggi dan bisa membuat banyak perubahan berarti.




0 comments:
Posting Komentar