22/05/18

Inilah Cinta Terencana versi kami

Bahagia itu relatif. Suatu keadaan tertentu yang bisa membuat seseorang merasa bahagia belum tentu berlaku serupa pada orang lain. Meski sebagian besar orang masih menganggap kemapanan dari segi materi adalah standarisasi kebahagiaan seseorang, namun tak bisa kita pungkiri juga kalau keluarga yang harmonis dapat dijadikan indikator kebahagian bagi banyak orang.

Sayangnya untuk mendapatkan predikat keluarga harmonis serta bahagia itu sendiri bukanlah perkara mudah. Butuh persiapan khusus yang terencana pastinya, persiapan yang aku maksud disini lebih dari sekedar persiapan resepsi pernikahan saja, tapi ada segudang persiapan lain dibaliknya. Tanpa persiapan-persiapan itu sudah bisa dipastikan keluarga tersebut tidak akan bisa berjalan sesuai impian.



Dan dampak dari keluarga yang dibangun tanpa rencana khusus itu tidak hanya akan dirasakan oleh si pasangan saja tapi juga mereka yang lahir diantaranya. Sepertiku misalnya, aku yang berasal dari keluarga broken home, sebut saja begitu, selalu merasa ‘ada yang kurang’ tiap kali melihat keluarga utuh lain, padahal kalau dibilang bahagia aku sudah cukup bahagia dibesarkan oleh nenek dan kakek tanpa kekurangan suatu apapun.

Aku sadar perceraian kedua orang tuaku kala itu merupakan keputusan yang pastinya telah melalui berbagai pertimbangan, namun tetap saja hati kecil ini seolah tidak terima. Ada saja waktu-waktu tertentu dimana aku seakan menyalahkan mereka atas ketidaksempurnaan masa kecilku tersebut.

Alhamdulillah aku tipe orang yang tidak lantas menyerah pada keadaan begitu saja. Tidak seperti anak broken home lain yang melampiaskannya pada hal-hal negatif, kondisi ini justru membuatku mempunyai visi dan misi khusus dalam membangun sebuah keluarga. Ada harapan besar yang ikut tertanam begitu dalam agar tidak sampai mengalami kejadian serupa kedua orang tuaku tersebut.



Visi dan misi ini terus terpatri dalam diriku hingga ada seorang lelaki dewasa berusia 26 tahun yang dengan berani datang kehadapanku. Aku yang saat itu telah menginjak usia 20 tahun pun mau tidak mau terpesona oleh caranya meminangku. Ia tidak mengajakku untuk berpacaran terlebih dahulu melainkan langsung memintaku menjadi pendamping hidupnya.

Sama sepertiku, lelaki pendiam itu juga berasal dari keluarga dengan latar belakang yang sama, broken home, hal ini pun membuatnya sama sekali tidak menawarkan kemapanan materi atau rangkaian kata-kata gombal seperti yang ditawarkan oleh lelaki lain pada umumnya, yang ia tawarkan hanya satu, visi dan misi yang sama denganku yaitu membangun keluarga harmonis serta bahagia secara terencana. Cinta terencana, begitu kami menyebutnya...

Secara umum sebenarnya tidak hanya cinta saja yang harus terencana tapi setidaknya ada 4 subtansi GenRe atau Generasi Berencana yang juga menjadi dasar kami berdua dalam membangun keluarga yang harmonis serta bahagia. 4 substansi GenRe atau Generasi Berencana yang juga sedang gencar-gencarnya digalakkan oleh pemerintah kita tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Kependudukan dan Pembangunan keluarga
2. Ketrampilan hidup atau lifeskill
3. Kesehatan reproduksi
4. Perencanaan kehidupan berkeluarga



Kalau melihat dari sisi usia kami saat itu, bisa dikatakan kami telah memenuhi kriteria usia menikah ideal yang ditetapkan pemerintah, yaitu usia calon mempelai wanita 20 tahun dan usia calon mempelai pria 26 tahun. Penetapan kriteria usia ideal itu bukan tanpa alasan pastinya, di usia tersebut seseorang diklaim telah siap menempuh jenjang pernikahan baik secara psikologis maupun secara biologis.

Pernikahan dibawah usia ideal itu dapat dikatakan sudah masuk kategori pernikahan dini yang amat rawan konflik, karena selain kondisi psikologisnya yang masih labil, sistem reproduksinya pun belum sempurna. Oleh karena itu amat tidak disarankan untuk melakukan pernikahan dini.

Visi dan misi yang sama dalam membangun keluarga yang harmonis serta bahagia secara terencana itu membuat kami berdua mencoba untuk dapat memahami kembali fungsi keluarga yang semestinya. Kami yakin dengan memahami fungsi dari keluarga itu sendiri kelak dapat membantu kami berdua membangun keluarga yang lebih dari sekedar kata harmonis atau bahagia tadi.

Kurang lebih ada 8 fungsi keluarga yang jika berhasil aku dan dia jalankan secara maksimal dalam membangun sebuah keluarga insya Allah akan lebih mempermudah kami meraih predikat harmonis serta bahagia itu sendiri. Berikut diantaranya :



1. Fungsi Agama

Meski dalam kurikulum sekolah telah ada materi pelajaran agama, namun tetap saja sekolah agama yang paling baik adalah di lingkungan keluarga. Jadi jika kita bisa menerapkan fungsi agama ini dalam keluarga, maka akan otomatis nantinya terbentuk pribadi-pribadi yang agamis dari mereka yang saat ini kita sebut anak.

2. Fungsi Sosial Budaya

Cara termudah mewariskan budaya serta adat istiadat yang berlaku di lingkungan masyarakat kita adalah dengan membiasakan diri dalam keluarga pastinya.

3. Fungsi Cinta dan Kasih sayang

Keluarga juga merupakan sekolah materi cinta dan kasih sayang terbaik. Di lingkungan keluarga lah kita belajar arti cinta dan kasih sayang yang tulus tanpa mengharapkan imbalan. Ikatan darah yang mengikat seringkali juga membantu proses pembelajaran cinta dan kasih sayang itu sendiri.

4. Fungsi Perlindungan

Dalam suatu keluarga sudah seharusnya jika kita saling melindungi satu sama lain. Rasa tentram serta aman akan lebih terasa dalam lingkungan keluarga dibanding lingkungan manapun.

5. Fungsi Reproduksi

Hanya dalam keluarga kita akan memahami arti serta fungsi dari reproduksi masing-masing, baik itu saat kita pertama kali menerima menstruasi hingga saat kita melalui ‘malam pertama’.

6. Fungsi Sosialisasi dan Pendidikan

Sekali lagi aku katakan, pendidikan yang paling dasar adalah dalam keluarga itu sendiri. Ibaratnya keluarga itu adalah sekolah yang pertama dan terbaik bagi setiap insan.

7. Fungsi Ekonomi

Mau tidak mau harus kita akui kalau keluarga memang memiliki fungsi ekonomi yang menanggung kebutuhan kita secara bergotong royong, entah itu hanya terpaku pada nafkah sang suami maupun ‘bantuan’ dari sang istri.

8. Fungsi Pelestarian lingkungan

Dengan berkeluarga itu sama artinya kita ikut melestarikan lingkungan, setidaknya dengan memastikan kalau garis keturunan tidak berhenti sampai di kita sendiri.



Alhamdulillah, meski berasal dari latar belakang yang tidak begitu bagus, kami berdua seolah memiliki rencana yang tersusun dengan cukup rapi dalam membangun keluarga bahagia serta harmonis menurut versi kami. Tak mudah memang menjalankan semua rencana tersebut ditengah perbedaan pendapat antara kami berdua, namun kami akan selalu berusaha semaksimal mungkin untuk terus membangun kebahagiaan dalam keluarga ini.

Saat ini kami sudah dikaruniai tiga orang buah hati, dua anak lelaki dan satu anak perempuan yang meramaikan rumah kecil kami. Memiliki tiga anak bukan berarti kami tidak sejalan dengan program pemerintah, tapi semata-mata karena karunia serta kepercayaan yang dianugrahkan oleh-Nya pada kami.

Aku memang memilih untuk tidak memakai alat kontrasepsi apapun, namun aku tetap menjaga jarak kelahiran anak-anakku satu sama lain dengan menerapkan sistem kalender yang aku pelajari di bidan tempat ku melahirkan anak pertama dahulu. Caranya cukup simpel, hanya dengan tidak berhubungan seksual selama masa subur saja, tepatnya di hari ke 11 sampai hari ke 17 yang dihitung dari hari pertama menstruasi.

Sebenarnya masa subur itu ada di hari ke 14 saja, tapi sebagai antisipasi atau jaga-jaga aku sengaja mengambil masa tersebut sebagai masa tabu untuk berhubungan seksual demi menjaga jarak kelahiran anak-anakku.

 Menurutku menjaga jarak kelahiran ini amat penting demi tumbuh kembang anak itu sendiri. Jangan sampai dalam satu keluarga ada dua batita yang harus dirawat. Selain karena akan terbaginya kasih sayang serta perhatian pada mereka, memiliki dua batita dalam satu rumah akan membuat masa meng-ASI-hi menjadi kurang maksimal padahal seperti kita ketahui bersama, masa-masa tersebut adalah masa yang paling penting dalam tumbuh kembang anak.

Kalau ditanya apakah aku sudah bahagia dengan keluarga yang aku bangun bersama suami saat ini, maka aku akan menjawab kami sedang menuju kearah sana. Aku dan suami baru bisa dengan lugas bilang kalau kami bahagia setelah kami nanti berhasil mendidik serta membesarkan ketiga buah hati kami tersebut tanpa melalui apa yang dialami oleh kedua orang tua kami dahulu.



Setiap kali emosi memenuhi benak kami karena satu dan lain hal, bayangan apa yang dialami oleh orang tua dahulu tersebut lah yang kembali mengingatkan kami pada visi dan misi pernikahan kami. Beberapa cara komunikasi positif pun akan sebisa mungkin kami terapkan agar hubungan kembali berjalan harmonis. Karena kami percaya kalau bisa mengatasi konflik dengan baik serta dapat berkomunikasi positif tanpa emosi adalah salah satu indikator pernikahan yang berhasil.

Insya Allah hal ini tidak akan sulit kami raih, karena cinta kami adalah cinta terencana...

1 komentar:

  1. Huhuhu so sweet deh. Btw sama dong kita mba, aku juga pakenya KB kalender haha

    BalasHapus