27/07/21

Akses Inklusif Kesehatan Bagi Para Disabilitas, Sudah Maksimal Kah?

 


Meski menular dan cukup berbahaya, kusta ini bukan kutukan. Tak ada satu pun di dunia ini yang berharap bisa menjadi penderita kusta, jadi tak sepantasnya pula kita malah mendiskreditkan mereka, apalagi pada mereka yang jelas-jelas sudah sembuh dari penyakit itu.

Aku sendiri tak pernah bisa membayangkan bagaimana rasanya jadi mereka, mungkin kalau itu terjadi padaku, aku tak kan pernah sanggup. Mereka hebat, mereka keren. Tak sekedar bisa melalui masa-masa berat saat sedang menderita penyakit tersebut, mereka pun masih harus menerima kenyataan kalau kedepannya hidup tak akan lagi sama.  Ada gelar baru yang mungkin bisa tersemat pada mereka, Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK), bagian dari kelompok ragam disabilitas.

Menurut data Bappenas 2018, ada sekitar 21,8 juta atau sekitar 8,26 persen penduduk Indonesia yang merupakan pendang disabilitas, termasuk mereka, para OYPMK. Sungguh angka yang tak sdikit bukan?! Namun sayangnya, meski angkanya terbilang cukup besar, hingga saat ini mereka masih menghadapi kesulitan dan tidak memiliki layanan kesehatan yang layak. Padahal, sama seperti kita, warga negara pada umumnya, para penyandang disabilitas ini, termasuk para OYPMK sudah seharusnya mendapat pemenuhan hak yang dilindungi oleh undang-undang.  

Salah satu hal yang terbilang penting adalah pada sektor kesehatan. Pemerintah harus bisa menjamin ketersediaan fasilitas layanan kesehatan dan memfasilitasi para penyandang disabilitas untuk bisa tetap hidup mandiri dan produktif secara sosial maupun ekonomis. Lalu, apakah untuk saat ini jaminan-jaminan tersebut sudah tersedia? Topik inilah yang kemudian diangkat menjadi tema diskusi pada ruang publik KBR yang disiarkan langsung di 100 radio jaringan KBR di seluruh Indonesia.



Diskusi daring ini juga disiarkan melalui 104.2 MSTri FM Jakarta, live streaming via website kbr.id dan youtube berita kbr.id dengan narasumber yang cukup kompeten di bidangnya, diantaranya ada Pak Suwata dari dinas kesehatan kabupaten Subang, dan Kak Ardiansyah, seorang aktivis Kusta/ Ketua PerMaTa Bulukumba.

Menurut Pak Suwata, Penderita Kusta bisa dikatakan sebagai penyandang disabilitas ganda, karena penyakit kusta bisa menimbulkan gangguan secara sensorik dan motoric. Tak hanya di situ saja, mereka pun harus menghadapi berbagai stigma negatif yang ada di masyarakat. Di Kabupaten Subang sendiri, penyakit Kusta ini masih jadi momok menakutkan karena masih kurangnya pengetahuan masyarakat tentang penyakit yang satu ini. Hal tersebut pun dibuktikan dengan masih tingginya angka keberadaan cacat tingkat dua akibat Kusta di Kabupaten Subang.

 

Akses kesehatan inklusif bagi penyandang disabilitas termasuk orang dengan kusta

 

Berdasarkan hasil diskusi tersebut, ada beberapa upaya yang dilakukan Dinas Kesehatan Kabupaten Subang terkait akses kesehatan inklusif bagi penyandang disabilitas termasuk orang dengan kusta. Diantaranya adalah sebagai berikut,


1.       Advokasi pada pemerintah daerah,

2.       mengintegrasikan peran pada masing-masing skateholder dan masyarakat,

3.       mengintegrasikan layanan kesehatan bagi penderita kusta melalui berbagai forum,

4.       melakukan berbagai upaya pencegahan agar penyakit Kusta ini tidak menyebar ke mereka yang terlanjur kontak erat dengan penderita kusta.

5.       Dan masih banyak hal lainnya.

 


Tak mau kalah dengan dinas kesehatan Subang, PerMaTa Bulukumba yang diketuai oleh kak Ardiansyah pun ikut melakukan berbagai hal untuk bisa mendampingi para penderita Kusta dan mereka yang pernah mengalami Kusta agar bisa kembali hidup madiri dan produktif.

Satu hal penting yang aku catat dari diskusi tersebut adalah penyakit kusta bukan kutukan. Penyakit kusta ini memang bisa menular tapi tenang saja, penularannya tak segampang yang kita pikirkan kok. Bahkan jika segera ditangani dengan baik, insya Allah penderita Kusta tak akan sampai mengalami disabilitas. Jadi jangan sampai stigma negative malah menghambat pengobatan mereka yaa.

 

0 comments:

Posting Komentar